Pages

Subscribe:

bow

Sabtu, 19 Juni 2010

Aij-Lie Kwan, Perempuan asal Jember Jatim yang Sukses Jadi Ahli Bedah Saraf di TAIWAN



Majukan Kedokteran Indonesia, Surabaya Jujukan Pertama

Aij-Lie Kwan mencatatkan namanya dalam sejarah kedokteran Taiwan. Perempuan kelahiran Jember 1957 itu pernah menyandang gelar profesor bedah saraf otak wanita pertama di negara tersebut. Kini, dia menjabat director MD PhD Program (setingkat dekan) Kaohsiung Medical University (KMU), Taiwan.

INDRA DANU

---

TERIK matahari siang itu menyapu patung garuda, lambang Universitas Airlangga (Unair), yang berdiri kukuh di halaman depan Kampus A Fakultas Kedokteran. Patung dari batu tersebut seolah menjadi penyambut siapa saja yang berkunjung ke kampus tertua di Surabaya itu. Baik mahasiswa yang menuntut ilmu di sana, dosen, maupun para tamu.

Tak terkecuali tiga pejabat Kaohsiung Medical University (KMU), universitas kedokteran terbesar kedua di Taiwan, yang datang ke FK Unair pada Jumat (11/6). Mereka adalah Vice President Chair Profesor College of Medicine KMU Ying-Chin Ko MD PhD, Chair of Department of Public Health KMU Chien-Hung Lee PhD, dan Aij-Lie Kwan DD PhD MSc.

Mereka bertiga datang ke FK Unair untuk penandatanganan kerja sama di bidang ilmu kedokteran kedua negara. ''Senang rasanya bisa kembali ke Indonesia. Ini adalah rumah pertama saya,'' kata Aij-Lie Kwan yang baru keluar dari Toyota Alphard dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Kwan -begitu sapaan akrabnya- yang siang itu mengenakan setelan baju abu-abu dan celana model ''Korea'' cokelat terlihat lebih akrab dengan beberapa koleganya dari FK Unair yang menyambut rombongan itu. Maklum, di antara tiga tamu tersebut, hanya Kwan yang bisa berbahasa Indonesia.

Tak lama setelah bercakap-cakap dan berdiskusi, forum resmi penandatanganan kerja sama pun dilaksanakan di meeting room. Suasana akrab dengan mudah terbangun lantaran pertemuan siang itu bukan yang pertama bagi kedua pihak.

Setelah penandatanganan selesai, Ying-Chin Ko menyatakan, kesepakatan kerja sama dua kampus besar di dua negara itu terjalin juga berkat kerja keras Aij-Lie Kwan. Sejak tiga tahun lalu, Kwan membuka jalan untuk melakukan kerja sama di berbagai bidang ilmu kedokteran. ''Dia adalah salah seorang profesor andalan di kampus kami,'' ungkap pria berkacamata itu dalam bahasa Inggris berlogat Mandarin.

Mendengar pujian tersebut, Kwan hanya tersenyum. Sambil mempersilakan duduk, dia pun bercerita bahwa dirinya memang asli orang Indonesia. Dia lahir di Jember, 11 Mei 1957. Dia merupakan anak kedua di antara empat bersaudara pasangan Jung Parengkuan dan Blance Auwy. ''Ayah dan ibu saya orang asli sana (Jember) kok,'' ungkapnya.

Kwan pun menghabiskan masa kecilnya hingga remaja di Kota Suwar-suwir itu. Sejak SD hingga SMA, dia menuntut ilmu di Sekolah Katolik Santo Paulus. Baru setelah lulus SMA, Kwan yang memang sudah lama bercita-cita menjadi dokter melanjutkan ke KMU Taiwan.

Dia menyatakan, kepindahannya ke Taiwan pada 1976 tidak termasuk dalam daftar cita-citanya. Sebab, meski beretnis Tionghoa, Kwan sama sekali tak bisa berbahasa Mandarin.

Beruntung, saat itu dia juga punya saudara yang tinggal di Kota Kaohsiung, Taiwan. Dari saudaranya itulah dia mendapat banyak referensi tentang kampus kedokteran yang terletak di ujung selatan negara Semenanjung Tiongkok tersebut. Berkat mereka juga Kwan bisa banyak belajar mengenai budaya Taiwan.

Menuntut ilmu kedokteran di negara orang membawa seribu cerita unik bagi Kwan. Salah satunya adalah masalah bahasa. Awalnya, dia mengaku sangat kesulitan dengan bahasa yang dipakai, baik dalam perkuliahan maupun komunikasi sehari-hari. Namun, setelah berjalan empat bulan, dia pun mulai terbiasa menggunakan bahasa warga setempat.

Dia menceritakan, banyak pengalaman lucu pada minggu-minggu pertama dirinya berada di tempat tersebut. Kwan yang saat itu hanya menguasai bahasa Indonesia dan Inggris, tampaknya, lebih banyak menggunakan bahasa ''Tarzan'' atau bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan warga setempat. ''Sering terjadi salah paham. Tadinya mau beli apa, dikasihnya apa?'' ujar ibu dua anak itu lantas tersenyum.

Kesempatan kuliah di KMU Taiwan tak disia-siakan Kwan. Dengan tekun dia melahap semua mata kuliah yang diajarkan. Dia pun berhasil lulus sebagai dokter pada 1983.

Setelah itu, dia melanjutkan kuliah dengan menekuni bidang khusus mengenai ilmu bedah saraf otak atau yang lazim disebut neurosurgery. Akhirnya, dia berhasil lulus dengan predikat The 35th Outstanding Young Persons of Taiwan R.O.C, sebuah penghargaan bagi lulusan termuda dan terbaik di Taiwan, 1984.

Maklum, selain lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, saat itu Kwan merupakan perempuan pertama yang ahli dalam hal bedah saraf otak di Taiwan. ''Yang meraih itu adalah saya, orang Indonesia,'' katanya bangga kepada Jawa Pos.

Sejak saat itu, Kwan dipercaya menangani berbagai kasus operasi bedah saraf otak di berbagai rumah sakit di Taiwan. Tak hanya itu, dia juga dipercaya menjadi visiting profesor of neurosurgery University of Virginia, AS, dan University of Sun Yat-sen, Guangzhou, Tiongkok.

Karir Kwan pun semakin mengkilap. Pada 1994, dia dipercaya sebagai The 1st Director of Post Baccalaureate Medicine di KMU Taiwan. Kini dia menjabat director MD PhD Program KMU Taiwan.

Tak berhenti hanya di jabatan kampus. Kwan juga dipercaya sebagai ketua di berbagai tempat. Di antaranya, The 8th Presiden of Taiwan Stroke Association dan Clinical Fellow, Epilepsy Center, di Yale University.

Meski kini menjadi salah seorang yang cukup penting di dunia kedokteran Taiwan, istri Daniel Winardi itu selalu bangga bila disebut sebagai orang Indonesia. ''Saya tidak pernah malu menyebutkan bahwa I am Indonesian di setiap pertemuan di mana pun,'' tegasnya.

Menurut dia, kecintaannya pada tanah air tak bisa digantikan oleh apa pun. Dia menyatakan sampai saat ini selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya di Jember, minimal sekali dalam setahun. ''Kakak pertama saya masih tinggal di Jember. Jadi, saya ada tempat untuk stay di sana,'' ujarnya.

Jika sudah pulang kampung, Kwan mengaku paling rindu masakan lodeh dan tempe goreng. Masakan itu adalah makanan favoritnya sejak kecil.

Dia mengungkapkan, yang telah dia raih saat ini hanyalah bagian dari berkat yang diberikan Tuhan. Dia mengaku hanya melakukan yang terbaik pada setiap kesempatan yang telah diberikan. ''Sebagai orang Indonesia di negara orang, saya memang berusaha dua kali lebih keras daripada kebanyakan orang di sana,'' tuturnya merendah.

Sebagai orang asli Indonesia, jiwa nasionalisme Kwan tak perlu diragukan. Sebab, hingga saat ini, dirinya masih memiliki satu mimpi yang ingin diwujudkan. Yaitu, banyak orang Indonesia yang mengikuti jejaknya sebagai ahli neurosurgery atau ahli bedah saraf otak. Sebagai orang Jatim, Surabaya menjadi sasaran utama dia. ''Karena itu, hari ini saya datang ke FK Unair untuk menjalin kerja sama,'' ungkapnya. (c5/nw)

SUMBER : Jawa pos dot com

0 komentar:

Posting Komentar